Senin, 16 Agustus 2010

Bahaya mencela Agama

TIDAK ADA BEDA ANTARA MAIN-MAIN DAN SENDA GURAU
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab memasukkan istihza’ (memperolok-olok; mengejek agama) salah satu dari sepuluh pembatal-pembatal Islam. Beliau telah menulis sebuah bab dalam kitab Tauhid dengan judul “Barangsiapa yang bersenda gurau dengan sesuatu yang berkaitan dengan dzikir kepada Allah, al-Qur’an, dan Rasul”.
Syaikh ‘Utsaimin menerangkan makna hazl yaitu mengejek dan memperolok-olok dengan maksud bermain-main dan tidak serius (bersungguh-sungguh). (al-Qaul al-Mufid Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat at-Taubah dan hadits Ibnu ‘Umar di atas ketika mereka yang beristihza’ mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain.”
Namun Allah tidak menerima alasan mereka, bahkan Allah berfirman: Katalanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat--Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta ma’af, karena kamu telah kafir sesudah beriman.”

BENTUK CELAAN
DR. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah al Fauzan berkata tentang hal-hal yang termasuk pembatal syahadatain (dua kalimat syahadat): “Siapa yang membenci sesuatu dari ajaran yang dibawa oleh Rasulullah sekalipun ia juga mengamalkannya, maka ia kafir. (Kitab Tauhid I (terjemah) hal 62).
Menurut sebagian ulama diantaranya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, bahwa istihza’ terbagi menjadi dua:
1. Istihza’ yang Nampak (Terang-terangan)
Seperti yang dilakukan oleh orang yang mengatakan: “Belum pernah kami melihat seperti para ahli membaca al-Qur’an kita ini, orang yang lebih rakus terhadap makanan…” sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar di atas. Dan juga perkataan orang-orang yang mengejek dan menghina penegak amar ma’ruf nahi munkar. Misalnya pengejekan terhadap orang-orang yang sedang melaksanakan shalat atau orang yang memanjangkan jenggot mereka, atau orang yang makan berjama’ah dengan menggunakan shahfah (nampan), mengambil suapan yang jatuh dan menjilati tangan, ini semua dan yang semisalnya adalah kekufuran yang mengeluarkan pelakunya dari Islam.
2. Istihza’ yang Tidak Nampak (Tidak Langsung)
Seperti mengejek dengan isyarat mata atau mengeluarkan lidah, mencibirkan bibir, atau dengan isyarat tangan terhadap orang-orang yang sedang membaca al-Qur’an atau Hadits-hadits Rasulullah atau terhadap orang-orang yang sedang melakukan amar ma’ruf nahi munkar. (at-Tanbihat al-Mukhtasharah hal 73).

APAKAH DITERIMA TAUBAT DARI ORANG YANG MENCELA ALLAH DAN RASUL-NYA
Berkata Syaikh ‘Utsaimin: ‘Para ulama berselisih, apakah orang yang mencela Allah dan Rasul-Nya atau kitab-Nya diterima taubatnya?
Dalam masalah ini ada dua pendapat:
1. Tidak diterima taubatnya, (ini adalah pendapat yang masyhur dikalangan Hambali) tetapi dia (si pencela tersebut) dibunuh dalam keadaan kafir. Dia tidak dishalatkan, tidak pula dido’akan rahmat baginya. Dia dikubur di tempat yang jauh dari pekuburan kaum Muslimin, walaupun dia mengatakan bahwa dia sudah taubat atau mengaku bersalah. Sebab menurut madzhab Hambali, kemurtadannya tersebut merupakan perkara yang besar sehingga taubatnya tidak bermanfaat.
2. Sebagian ulama berpendapat bahwa taubatnya diterima jika diketahui bahwa ia sungguh-sungguh jujur bertaubat kepada Allah , dan mengaku bahwa dirinya telah bersalah. Karena dalil-dalil umum menunjukkan diterimanya taubat, seperti firman Allah yang artinya:
Katakanlah: “Wahai hamba-hamba-Ku yang telah melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus-asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (az-Zumar: 53)
Pendapat yang kedua ini adalah benar, hanya saja orang yang mencela Rasulullah diterima taubatnya namun tetap wajib dibunuh. Hal ini berbeda dengan orang yang mencela Allah yang diterima taubatnya dan tidak dibunuh. Bukan berarti karena hak Allah berada di bawah hak Rasulullah , bahkan karena Allah akan mengkabarkan kepada kita bahwa Allah akan memaafkan hamba-Nya yang bertaubat karena Allah Maha mengampuni seluruh dosa.

LARANGAN DUDUK DENGAN ORANG-ORANG YANG BERISTIHZA’
Wajib bagi kita untuk meninggalkan para pencela yang sedang mengejek dan memperolok-olokkan syari’at Allah dan Rasul-Nya, meskipun mereka adalah keluarga terdekat kita. Kita tidak bermajelis dengan mereka sehingga tidak termasuk golongan mereka.
Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam al-Qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olok, maka janganlah kamu duduk bersama mereka (yang mengolok-olok tersebut), sehingga mereka memasuki pembicaraan lain. Karena sesungguhnya (jika kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. (An-Nisaa’:140).
Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olok ayat-ayat Kami maka tinggalkanlah sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini) maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zhalim itu sesudah teringat akan larangan itu. (al-An’am: 68.
Seseorang yang mendengar ayat-ayat Allah sedang dihina dan diperolok-olokkan oleh sekelompok orang, namun dia duduk-duduk dan ridha dengan mereka, maka dia sama dengan mereka, baik dosa maupun kekafiran. (at-Tanbihat al-Mukhtasar hal 74).

PERINGATAN
Apa yang telah kami sebutkan di atas tentang kafirnya orang yang mencela atau beristihza’ terhadap Allah, Rasul-Nya atau syari’at-Nya tidaklah berlaku umum bagi setiap orang yang melakukan istihza’ atau pencelaan. Karena masalah pengkafiran adalah masalah yang sangat besar. Jika kita mendengar ada seseorang yang telah melakukan istihza’ atau pencelaan, hendaklah kita menasehati dan menjelaskan kepadanya bahwa apa yang dilakukannya itu adalah hal yang sangat berbahaya. Atau dengan kata lain kita terlebih dahulu menegakkan hujjah kepadanya. Jangan sampai kita sembarang mengkafirkan saudara kita. Rasulullah bersabda: Barangsiapa yang memanggil seseorang dengan kekafiran atau berkata: “wahai musuh Allah”, dan ternyata tidak benar, maka perkataan itu) kembali padanya. (HSR. Bukhari dan Muslim).
Jika kita telah menasehati dan menjelaskan kepadanya lantas ia bertaubat, maka alhamdulillah. Namun jika ia tetap beristihza’ dan mencela, maka hendaknya kita kembalikan masalah pengkafirannya kepada para ulama’. Jangan sampai kita gegabah dan ceroboh. Dan semoga Allah menjauhkan kita sekalian dari perbuatan istihza’ tersebut. Wallahu a’lamu bis shawab.

Maraji’:
- Kitab Tauhid I (terjemah) karya DR. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan.
Majalah As-Sunnah Edisi 09/Th.IV/1421-2000. Hal.36-43.:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar